Ustadku

Jarak yang Diperbolehkan Untuk Tidak Berpuasa

Sahabat ustadku yang dimuliakan oleh Allah SWT, semoga kita  selalu diberikan kesehatan dan lindungan dari Allah.

Sahabat ustadku sekalian, mari kita lihat satu Surat dalama Al-Quran yaitu Surat Al-Baqarah ayat 184,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖفَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Ayyāmam ma'dụdāt, fa mang kāna mingkum marīḍan au 'alā safarin fa 'iddatum min ayyāmin ukhar, wa 'alallażīna yuṭīqụnahụ fidyatun ṭa'āmu miskīn, fa man taṭawwa'a khairan fa huwa khairul lah, wa an taṣụmụ khairul lakum ing kuntum ta'lamụn

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Dalam surat ini dijelaskan, jika puasa telah ditentukan waktunya, yaitu 29 hari atau 30 hari. Bagi mereka yang sakit dan safar atau sedang berada dalam perjalanan jauh, bisa untuk tidak berpuasa. Dalam surat ini ada kalimat “, fa mang kāna mingkum marīḍan au 'alā safarin” yang berarti bagi mereka yang sakit dan safar, kalimat ini juga di ulang kembali di ayat yang berikutnya di surat Al-Baqarah ayat 185,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Syahru ramaḍānallażī unzila fīhil-qur`ānu hudal lin-nāsi wa bayyinātim minal-hudā wal-furqān,fa man syahida mingkumusy-syahra falyaṣum-h, wa mang kāna marīḍan au 'alā safarin fa 'iddatum min ayyāmin ukhar,

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”

Di surat ini, dijelaskan jika kita bisa tidak berpuasa apabila sakit dan seorang musafir yang dalam perjalanan jauh. Lalu bagaimana batas seorang musafir itu, hal ini berbicara tentang perbedaan pendapat karena mazhab tentang hal ini banyak hukumnya dan berbeda. Berkaitan dengan safar ini banyak pendapat, ada mahzab yang mengatakan kemana pun kita pergi saat kita keluar rumah itu disebut dengan safar, misalanya dari tanggerang ke depok, itu menurut salah satu mahzab.

Tapi ada mazhab lain yang ada di Indonesia, yang biasanya berpatokan dengan mazhab Imam Syafi’i memberikan patokan jika jarak untuk seseorang safar adalah sejauh 85 kilo meter. Mahzab yang berlaku di Indonesia menjadi patokan keumuman masyarakat Indonesia, jadi selama anda melakun safar sejauh jarah 85 kilometer, maka dia telah mendapatkan keringan dari Allah SWT untuk tidak berpuasa dan mengganti puasanya tersebut di luar bulan Ramadan.

Terus seperti apa hukumnya bagi orang yang sudah melewati jarak safar yang ditentukan tetapi dia tidak ingin untuk membatalkan puasanya karena dia memiliki fisik yang kuat, atau mereka yang dari Jakarta pulang ke kampungnya di bali tapi menggunakan pesawat, jadi seperti apa ketentuannya? Ada hal yang perlu kita ketahui jika qodho ini untuk Safar sebenarnya hadiah dari Allah SWT, tapi bagaimana ketentuan hadiah dari Allah SWT? Sebaiknya kita mengambil hadiah tersebut, agar yang memberi hadiah itu senang, jadi hadiah untuk tidak berpuasa itu lebih baik jika diterima.

Namun untuk sebagian orang yang yang menjadi musafir tapi memilki fisik yang kuat atau dia tidak terlalu lelah dalam perjalanannya dan masih ingin menjalankan puasanya, maka hukumnya dia tetap bisa melanjutkan puasa tersebut. Jadi marilah kita menghargai sebuah keputusan yang mendekati syariat, ketika hadiah itu diberikan bagi anda yang menjadi seorang musafir untuk mengambilnya itu merupakan hadiah terindah yang diberikan.

Namun ketika hadiah itu tidak di ambil dan melanjutkan dengan puasa, karena tidak melelahkan kita dan merasa sayang jika melewatkan puasa di bulan Ramdhan itu juga di perbolehkan, tapi yang tidak boleh adalah saling mencaci-maki sebuah keputusan yang telah diambil oleh masing-masing. Kita kembalikan pada kekuatan Quran dan Hadist, jika ternyata perbedaan mahzab jangan runcingkan sebuah pemasalahan dalam Islam tapi justru mejadi satu kekayaan yang bisa membuat kita saling menginspirasi dan membuat kualitas puasa kita lebih baik, semoga bermanfaat.

Wasallamuallaikum wr, wb.